Kamis, 04 Maret 2010

UKM Milik Warga NU Kelimpungan Hadapi Produk China




Perjanjian perdagangan bebas Asean-China telah menimbulkan dampak langsung kepada sejumlah warga NU yang menggeluti sektor Usaha Kecil Menengah (UKM) di sentra-sentra industri seperti di Tulungagung, Blitar, Cirebon, Tasikmalaya dan lainnya.


KH Hasyim Muzadi mendapat laporan bahwa mereka kini terpaksa menutup usahanya karena tidak kuat bersaing dengan produk China yang harganya lebih murah daripada produk lokal dan memiliki kualitas lebih bagus.

“Orang NU umumnya orang kecil atau dibawah kecil, ekspor-impor dan produksi sangat mempengaruhi kehidupan mereka. Penjahit, garmen, hampir berhenti karena tidak mungkin bersaing, yang mereka tahu ini akibat yang ditimbulkan sehubungan globalisasi,” katanya dalam diskusi ekonomi Perdagangan Bebas Asean-China yang diselenggarakan Lembaga Perekonomian NU di gedung PBNU, Selasa (16/2)

Hasyim menegaskan, sampai saat ini rakyat kecil belum mendapat perhatian yang memadai dari pemerintah. Para petani saat musim tanam kesulitan mendapatkan pupuk dan ketika panen, harga gabahnya turun. “Orang kecil cuma ingin hidup mudah, selebihnya mereka tidak peduli,” paparnya.,,,,,,,,,

Menteri Perdagangan Marie Elka Pangestu yang menjadi pembicara dalam pertemuan ini menjelaskan pengurangan hambatan tarif yang mengarah pada perdagangan bebas sudah dimulai sejak 20 tahun yang lalu, karena itu, mengutip pernyataan dari mantan presiden Soeharto, “Siap atau tidak siap, mau atau tidak mau, suka atau tidak suka, kita masuk proses globalisasi”

Dijelaskannya, perdagangan bebas disatu sisi memberi peluang tetapi disisi lain terdapat tantangan yang harus dihadapi. Namun ia menegaskan sektor strategis, khususnya pertanian yang meliputi beras, jagung, gula dan kedelai akan dilindungi oleh pemerintah.

“Perlindungan yang kita berikan sangat ketat karena 60 persen penduduk kita masih bekerja di sektor agraria. Kita melindungi dengan at all cost,” tandasnya.

Di masa mendatang, perjanjian perdagangan bebas ini bukan hanya dengan China, yang juga sudah ditandatangani adalah dengan India, Korea, Jepang, Australia dan New Zealand. Asean dengan penduduk 600 juta dapat digunakan untuk melawan persaingan dengan China yang memiliki penduduk 1.3 M dan India 1.2 Milyar.

Beberapa produk yang menguntungkan dari hasil perdagangan bebas adalah CPO yang sebelumnya terkena kuota dan kini tarifnya juga dihapus. Indonesia juga diuntungkan dengan produk mesin dari China yang berharga murah sehingga biaya produksi bisa turun.

Namun untuk produk pakaian, mainan anak dan makanan, Indonesia menghadapi masalah dalam persaingan dengan China karena kekuatan skala produksi mereka yang tinggi sehingga biaya produksi menjadi rendah. Namun sebenarnya, komposisi produk ini hanya 10 persen dari impor

Untuk menghadapi persaingan dengan China ini, Marie Elka menegaskan Indonesia harus memproduksi barang yang tidak bisa diproduksi oleh China seperti CPO karena kalau berhadapan langsung dengan produk yang bisa dibuat di China dengan kualitas yang lebih bagus dan harga lebih murah, maka akan kalah.

Berbagai persoalan yang menghadang dalam produksi di Indonesia diantaranya adalah masalah infrastruktur seperti jalan, listrik, pelabuhan dan lainnya. Ia mencontohkan jeruk produksi Pontianak harganya lebih mahal daripada jeruk produksi China karena mahalnya transportasi dan tingginya tingkat kerusakan buah.

Ada empat strategi yang dilakukan pemerintah dalam proses globalisasi ekonomi ini, yaitu dengan melakukan penguatan daya saing global, pengamanan pasar domestik salah satunya dengan kampanye Aku Cinta Produk Indonesia dan peningkatan ekspor.

“Kalau hanya pemerintah yang melakukan, kita tidak akan bisa berkesinambungan, kita membutuhkan dukungan NU dalam mendorong cinta produk dalam negeri ini,” terangnya.

Sementara itu Wakil Ketua Kadin Benny Sutrisno menjelaskan perdagangan bebas dengan China bagus untuk sektor hulu, tetapi jelek untuk industri hilir, khususnya untuk mainan anak-anak atau garmen.

Ekonom dari ECONIT Henry Saparini menegaskan Indonesia menghadapi situasi yang sangat berat dengan perdagangan bebas ini, apalagi dengan adanya program percepatan impor atau early harvest program sehingga berbagai produk pertanian murah dari China seperti jeruk, apel, membanjiri Indonesia.

“Ini bukan persoalan siap tidak siap, mau tidak mau. Negara lain bisa mensiasati ini. China juga anggota WTO tetapi bisa memilih mana yang didahulukan, mana yang menunggu kesiapan rakyat,” jelasnya.

China juga tidak memperkuat mata uangnya untuk memperkuat daya saing globalnya, meskipun ditekan oleh berbagai negara sehingga produknya bisa dijual murah di berbagai negara karena nilai tukranya rendah.

Indonesia, menurut Henry, belum memiliki kebijakan strategis yang komprehensif yang mengatur semua hal itu. RUU Pengembangan Industri sampai saat ini belum disahkan, RUU perdagangan sampai sekian tahun juga belum selesai sehingga Indonesia tidakmemiliki referensi ketika melakukan negosiasi dengan negara lain.

Ia menegaskan, akan menjadi masalah ketika memisahkan kebijakan perdagangan dan industri karena sektor industri perlu dukungan energi. Ia mencontohkan, China memprioritaskan batubara murah untuk sektor energi sementara di Indonesia, belum jelas mana yang untuk ekspor dan mana yang untuk kepentingan dalam negeri.

Sektor tekstil, meskipun Indonesia memiliki pasar yang sangat besar, yaitu 230 juta penduduk, tetapi industri ini saat ini sudah mengalami penurunan atau sunset industri karena 77 persen merupakan produk impor dan sedangkan produk lokal kini tinggal 23 persen.

“Kita mengalami deindustrialisasi yang semakin cepat dan tanpa persiapan, meskipun faktanya di Indonesia yang nganggur masih banyak, walaupun catatannya hanya 7.8 persen, tetapi 70 persennya kerja di sektor informal dan definisi bekerja sangat longgar,” tandasnya.

Problem pengangguran ini akan semakin membesar ketika sektor industrinya mengalami keruntuhan, sementara di sektor jasa, belum banyak yang bisa dilakukan.

Dijelaskannya, Jepang dan China produknya kompetitif karena mengoptimalkan pasar dalam negeri yang dilindungi dahulu ketika belum mampu bersaing secara global, setelah itu baru masuk ke perdagangan bebas, bukan dibalik, dibuka pasar bebasnya baru diminta melakukan efisiensi.

Kemiskinan yang terjadi di Indonesia akan membuat mereka membeli produk murah dari China, tanpa memperhatikan risiko yang akan dihadapi karena itu perlu dihadapi dengan hambatan non tarif seperti NSI, penjelasan produk berbahaya dan lainnya.

Sarbumusi Dorong Cintai Produk Dalam Negeri

Sementara itu untuk menghadapi serbuan produk China berharga murah yang masuk yang bisa mengancam keberadaan industri manufaktur di Indonesia yang pada akhirnya bisa mengakibatkan terjadinya PHK massal, Sarbumusi menganjurkan masyarakat agar mencintai produk dalam negeri.

Ketua Sarikat Buruh Muslimin Indonesia (Sarbumusi) H Junaidi Ali mendorong agar pemerintah dan masyarakat mengkampanyekan penggunaan produksi dalam negeri untuk melawan serbuan produk dari China.

“Ini yang harus kita lakukan karena tidak mungkin kita menolak perdagangan global,” katanya, Kamis (14/1).

Sayangnya, kampanye upaya cinta produk dalam negeri yang diperkenalkan Mahatma Ghandi melalui slogan swadesi ini kurang menggema sehingga kesadaran masyarakat juga kurang maksimal, padahal ini sangat penting demi ketahanan industri nasional.

Strategi lain yang harus dilakukan adalah memberlakukan Standar Nasional Indonesia (SNI) sehingga standar ini berlaku umum. “Ini akan membatasi produk yang masuk, misalnya produk rumah tangga berbahan melamin dari China tak akan masuk, nanti tinggal ketegasan pemerintah saja,” tambahnya.

Junaidi menyesalkan, kesepakatan ini sudah ditandatangani sejak tahun 2002, tetapi kurang sosialisasi sehingga tak banyak masyarakat yang tahu. Akhirnya ketika diberlakukan banyak kalangan yang terkaget-kaget dan tidak siap.

Ia sendiri sudah pernah melakukan kunjungan ke China dan tak semua produk dari sana lebih berkualitas dan lebih murah harganya. Peran pemerintah dalam melindungi industri nasional ini menurutnya sangat menentukan. (www.nu.or.id)
clik disini