Rabu, 03 Februari 2010





Fenomena liberalisasi pemikiran keagamaan di kalangan anak muda NU menjadi keprihatinan tersendiri bagi Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Sirajd.

"Kalau sebatas bincang-bincang boleh lah. Tetapi jika sudah masuk dalam landasan berorganisasi ini bahaya", ujarnya dalam Rapat Kerja Nasional Majelis Alumni Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama di Jakarta, Senin (1/2).

Lebih lanjut Said Aqil menjelaskan bahwa liberalisasi pemikiran tak boleh diberi peluang secara luas karena akan merembet pada liberalisasi di bidang ekonomi, liberalisasi budaya, dan liberalisasi agama.

"Salah satu bentuk liberalisasi budaya adalah adanya pemahaman tidak pentingnya cium tangan pada kiai dan orang tua," ujarnya.

Tuntutan pencabutan UU tentang Penodaan Agama di Mahkamah Konstitusi, jelasnya adalah akibat adanya liberalisasi pemikiran keagamaan yang kebablasan, dan ini harus ditentang.

Dalam kesempatan tersebut ia menegaskan pentingnya merawat pemikiran keagamaan yang tawassuth dan moderat. "Radikalisme agama itu salah, demikian juga liberalisme agama juga salah", tegasnya.

Said Aqil mengingatkan bahwa NU itu berdiri di antara dua kutub yang ekstrem, kutub radikal yang sangat keras dan konfrontatif, serta kutub liberal yang kompromis, permissif dan hedonis.

Sementara itu rakernas Majelis Alumni IPNU dalam rekomendasinya menegaskan pentingnya merawat tradisi pemikiran keagamaan yang mengedepankan "jalan tengah" dan mengaktualisasikan nilai kehidupan pesantren ke dalam perilaku organisasi.

"Nilai kepesantrenan yang perlu diaktualkan adalah semangat kesederhanaan, kemandirian, dan paradigma pemikiran yang moderat jauh dari ekstrimitas dan liberalitas" ujar Ketua Majelis Alumni IPNU Hilmi Muhammadiyah. (sam/nam)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar